SURAT KEPADA SETAN
Karya: Putu Wijaya
I
Hari ini usiaku 60 tahun. Radio
mengobral lagu-lagu kebangsaan sejak subuh buta. Tepat pukul sepuluh
pagi di lapangan parkir ada upacara menaikkan sang saka merah putih.
Anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan mengharukan. Sementara
rumah-rumah sederhana di sepanjang rel kereta api membuat sungai merah
putih yang berliku panjang. Rakyat jelata berlomba naik pohon pinang.
Ibu-ibu rumah-tangga tarik tambang. Penyandang cacad bertanding volli
duduk. Bapak-bapak main sepakbola dengan memakai daster. Gadis-gadis
kecil berlomba menangkap belut.
Sementara di pemukiman mewah orang-orang
masih tidur mendengkur menikmati hari libur. Banyak yang tak mau men
gibarkan bendera. Untuk apa kata mereka, apa kibaran bendera satu hari
bisa mengubah kebrengsekan yang sudah berkerak puluhan tahun?
Aku sendiri kelaparan. Gusti Allah,
kataku bersemedi, apa lagi yang bisa aku ganyang sekarang. Mulutku asem,
harus olahraga sebab perutku gembung kebanyakan angin. Aku harus
mengunyah, kalau tidak makan badanku lemes. Kalau lemes bagaimana aku
bisa jaim?
Tapi aku tidak mau asal kenyang, aku
mau makan enak. Lebih lezat lebih mahal dari yang dimakan oleh orang
lain. Itu baru namanya nikmat. Jadi supaya puas, ukurannya bukan lagi
jumlah, itu matematika kuno, sekarang harus nomor satu, pokoknya lebih
dari orang lain baru uenak tenan. Karena itu, bukan hanya asal enak,
ngapain, mereknya yang lebih penting. Dan merek yang bisa dipercaya
hanya yang datang dari mancanegara. Paling sedikit yang dibeli di
Singapura. Segala yang impor itu jaminan mutu, buatan Indonesia alah
lebih banyak menipu. Makanya korupsi penting, itu sudah profesi yang
paling afdol untuk melipatgandakan rezeki. Harga proyek satu juta, bodo
kalau ongkos bikinnya tidak bisa diteken jadi sepuluh perak, lainnya
digerogoti. Jangan takut, rakyat sudah biasa ditipu semalam suntuk.
Mereka malah ketagihan.
Maaf lagi-lagi aku ngelantur, maklum
usia sudah uzur. Buat manusia, 60 tahun bagai mobil yang mau parkir,
jalannya x-tra waspada supaya jangan kecebor kali atau digebuk polisi.
Tapi buat negara, 60 tahun masih kenceng-kencengnya, bagai pengantin di
malam pertama. Bisa tiga kali semalam. Maksudku tiga kali bangun,
mungkin bisa empat lima kali. Ada yang mengaku sepuluh kali. Lho jangan
salah, terpaksa bangun karena masih ada saja tamu kasep yang mau kasih
selamat.
Jadi bukan soal makan atau tidak, tapi
mau makan apa hari ini, Pak, kataku mengadu pada Bupati. Tapi
cepat-cepat aku disuruh pergi menjumpai Pak Wali. Dari kantor walikota
aku dikirim ke Gubernuran. Sebelum Gubernur menyarankan datang ke
Presiden aku ingatkan bahwa Presiden sedang repot mengurus korupsi, jadi
lebih baik beliau saja yang berperan. Apa yang bisa aku makan, Bapak
Gubernur?
Walah, Ente ini bagaimana, Indonesia
kaya-raya, makan saja kok repot, kata Gubernur, sikat saja itu
orang-orang tua, para pengemis, penganggur dan anak-anak tanggung yang
kerjanya bikin kerusuhan, sekalian bikin bersih kota, daripada sweeping
orang-orang asing atau rumah judi. Itu kan bisa mengurangi pendapatan
abdi-abdi negara yang sudah susah-payah mengamankan Anda. Ayo!
Aku kaget. Lho Gubernur, Bapak serius?
Jangan berkata begitu. Masak terus-terang mengakui abdi-abdi negara itu
melindungi judi. Betul itu? Kalau didengar oleh wartawan, sekarang juga
kursi Bapak bisa dicopot! Mereka kan sekarang sudah garang, dan ingat
itu bukannya tanggungjawab Bapak juga!
Ha-ha-ha, Guberbur tertawa, aku hanya
guyonan katanya sambil menepuk pantatku, maaf bahuku. Ini campur sari.
Kalau serius terus, kita bisa cepat mampus, ngurus rakyat yang semuanya
mau enak sendiri, itu makan hati. Kalau tidak hati-hati, aku bisa mati
berdiri. Jadi terpaksa sedikit pakai komedi. So what gitu lho! Oke jadi
Ente datang untuk cari makan?
Iya, Pak, apa lagi! Itu kan bagian tugas Bapak sebagai pemimpin rakyat, bukan hanya urusan perut kami.
Tenang, itu gampang Dik, katanya sambil
menunjuk seribu orang TKI yang tidak jadi diekspor ke luar negeri
sebagai pembantu karena “N.G”. Itu semua aja ambil. Habis kalau nggak
mati, pulangnya babak belur semua seperti Nirmala Bonar. Yang selamat,
dipereteli di bandara oleh calop-calo yang kejemnya ngajubilah, lupa
bahwa ibunya juga perempuan yang susah cari makan. Itu saja, kata
Gubernur, silakan ambil semuanya, habiskan biar nggak jadi makanan
koran. Lho ya kan? Koran itu lho, televisi apalagi, edhan sekarang.
Makin rusuh beritanya, makin banyak iklannya, makin tinggi oplagnya,
makin nomor satu ratingnya. Namanya juga cari makan.
Lho Bapak kok nyuruh saya makan orang? Itu kan kanibal, Pak. Memangnya saya ikan Arwana? Emangnya saya, Bapak?
Ya itu terserah, ini negeri demokrasi,
Bapak kan hanya menunjukkan peluang, silakan berjuang. Mainkan saja
bolanya yang sekarang siap ditendang, aku masih banyak urusan. Jadi
mohon diizinkan pamit demi melanjutkan pekerjaan. Masak mentang-mentang
pejabat tidak berhak liburan, itu kan perikemanusiaan?!
Sebelum sempat dicegah Gubernur sudah
kabur. Lalu seribu perempuan, calon-calon pembantu yang “enji” itu
datang berlari menyerbu. Yaaaaaa! Ya Tuhan, kalau hanya empat, masih
bisa kuatasi, ini seribu! Dengan dua ribu tangan yang menggapai-gapai
mau menggerayangi barangku, maaf, maksudku menggerayangi tubuhku, minta
dilindungi, aku jadi keenakan maksudku kewalahan, lalu tak sadar aku
berteriak supaya mereka jangan ngamuk.
Awasssssss! Jangan terlalu dekat, Mbak,
Ibu, Dik, sayang, aku bisa koit, malah nanti tidak bisa melihat! Mundur!
Udah ah! Di situ saja, aku sudah tahu kok, jumlah kalian seribu,
semuanya sudah kena tipu dan sekarang mau mengadu. Betul nggak?
Betul!!!!! Jawab mereka seru.
Tetapi terus-terang aku belum tahu mesti
ngapaian dengan semua kamu. Apa yang bisa beta lakukan kan daku manula
yang sudah rongsokan, masak mau duel dengan seribu perempuan yang
kelaparan, maksudku tidak punya pekerjaan.
Bukan hanya pekerjaan, kami juga sudah tidak punya kehormatan!
Ya Tuhan, jadi kalian semua sudah tidak perawan?!
Jeger aku ditampar sampai mental. Seribu pasang mata melotot mau membakar mulutku yang sudah becek lepas kontrol.
Kehormatan dan kehormatan itu berbeda
Pak, teriak pemimpinnya. Ternyata bekas calonya juga. Yang satu
kehormatan di atas erut, yang bernama harga diri. Itu sudah kikis habis
karena terpaksa kami gadaikan, tapi tak sanggup menebus agar
dikembalikan. Yang lain, kehormatan yang lokasinya di bawah perut ini,
tapi itu hari ini tidak kita bicarakan. Kami hanya minta satu saja.
Jangan cuma janji mau mensejahterakan, carikan kami pekerjaan buat
makan! Tanpa makan bagaimana bisa bertahan? Edhan!
Lho aku sendiri juga mau makan, jangan suruh aku mengurus nasib kalian.
Kalau Bapak juga mau makan, itu namanya lempar batu sembunyi tangan, lalu siapa lagi yang bisa kami harapkan?
Yang lain-lain! Kan banyak. Itu lho para konglomerat!
Ah mana sempat! Semuanya juga mengaku melarat!
Kalau begitu lapor Para Wakil Rakyat!
Apalagi Wakil Rakyat! Mereka sedang baku hantam untuk melindungi rakyat!
Lha kamu kan rakyat?
Bukan!
Ah bukan? Lalu kamu siapa?
Kami perempuan. Perempuan bukan rakyat
karena dianggap tidak masuk hitungan! Ya kami selalu dikorbankan!
Makanya kami selalu menuntut persamaan!!!! Kalau terus-terusan
cuci-tangan tidak mau menghiraukan, kami akan turun tangan!
Tiba-tiba, semuanya membuka pakaian.
Waduh aku penggemar gambar porno dan suka nonton penari strip yang
sekarang mulai disuguhkan di café. Tapi seribu orang, amit-amit. Apalagi
setelah telanjang bulat semua, mereka berlari datang menyerbu. Satu
orang, empat orang , aku masih kuat ladeni, tapi ciloko seribu orang,
lebih baik aku kabur. Tapi ngibrit ke mana lagi, sekelilingku sudah
dikepung, aku akan habis terganyang dalam ronde pertama. Akhirnya aku
meloncat keluar yaak dan terbangun dari mimpi.
Ya Tuhan, puji syukur, untung Kau
ciptakan alam kesadaran, untuk menyelamatkan diri kalau sudah tidak
ketulungan. Aku terbangun dari mimpi buruk. Alhamdulillah. Tapi aduh
masih ada dua yang katut, sanggulnya tersangkut sepatuku lalu ikut
tersembul keluar sambil memegang kakiku. Jangan pegang ini bukan punya
kamu. Tapi dia menggigit, aduh pangeran, enak-enak geli tapi aku tidak
mau ditarik kembali ke alam mimpi, lalu aku sentakkan, jangan ditarik
nanti pedot, dimana cari serepnya nggak ada yang jual, aduh, aduh, aduh,
aduh jadi melar ini. Isin aku! Aku terpaksa menarik dan menyentakkan
yaaaaaak! Dan berhasil? Beres! Tapi nanti dulu, celanaku merosot,
celana dalamku ikut melorot merekam tarik. Aku jadi pindang, bebvas
tanpa hambatan! Aku berteriak dan mencoba menutupi auratku yang bebas
hambatan. Tolonggggggg!
Tiba-tiba aku terkejut. Ternyata,
ternyata, maaf nyuwun ngampuro, I am so sorry, tidak ada kata lain yang
bisa menggantikan ucapan ini, kemaluanku sudah hilang. Kok bisa hilang
ya? Hilang Bang, hilang, padahal tadi masih gagah di sini. Wong aku
eman-eman kok. Coba periksa sekli lagi. Ya Tuhan benar blas hilang!
Aduh, aduh bagaimana aku bisa hidup tanbpa kemaluan. Jangan-jangan sejak
tadi, sejak kemaren-kemaren, sejak 30 tahun, sejak 60 tahun yang lalu,
tanpa aku sadari, aku sudah kehilangan kemaluan. Jangan-jangan kita
semua memang tidak punya kemaluan lagi.
Coba. Yang jujur aja! Itu yang paling
belakang sana coba periksa, jangan tertawa, apa? Masih ada, tapi tinggal
separo katanya. Ini yang di depan kelihatan geli, kenapa Mas? Oh!
Memang tidak hilang, katanya, tapi sekarang jadi kembar. Lihat ini dua!
Waduh bahaya! Kemaluan tidak perlu banyak, satu saja asal yang mantap,
karena kalau kebanyakan kita juga repot. Aku juga hanya punya satu, tapi
sekarang sudah hilang. O tidak! Sudah ada lagi, tapi ya Tuhan kenapa
sekarang bercabang-cabang!
Cabangnya tambah banyak. Di cabangnya
tumbuh cabang lagi. Ganas seperti akar tunjang. Panjang-panjang, kenceng
lagi. Seperti gurita menggapai-gapai. Dia hidup sendiri. Menjurai ke
segala arah. Apa saja mau ditonjok dan dibelit. Ganas dan lapar. Ya
Tuhan, aku juga dibelit. Kakiku , seluruh tubuhku dililit. Tanganku
tidak lagi berfungsi, otakku juga beku. Hanya mataku dan mulutku yang
masih bisa dipakai. Aduh aku sudah dihajar habis oleh kemaluanku
sendiri. Tolongggggg!
II
Ini pasti perbuatan Setan. Setanlah yang
sudah bertugas membayang-bayangi kehidupan manusia dengan kegelapan.
Dari dulu sampai sekarang, segala malapetaka berasal dari Setan.
Setanlah yang sudah membuat negeri ini terpuruk oleh berbagai macam
musibah. Krisis ekonomi, kegoncangan politik, separatisme, disintegrasi,
narkoba, judi, bom, terorisme, tsunami, bencana banjir, televisi
semakin ganas, brutal dan asosial, korupsi dan harga-harga naik lagi!
Semuanya karena ulah Setan. Termasuk perselingkuhan. Setan mau menyulap
bangsa dan negeri kita ini ini menjadi kerikil yang cakar-cakaran. Dan
itu akan kejadian karena kita tidak sanggup melawan Setan. Kita hanya
bisa membenci, mengutuk, menghujat dari jauh, tanpa berbuat apa-apa.
Setan tidak pernah kalah apalagi menyerah. Apa pun yang kita lakukan
pasti sia-sia.
Sudah waktunya kita harus ganti taktik.
Sebaliknya dari membenci sebab itu hanya memboroskan enersi, kita harus
berhenti membuat jarak, lalu merangkul. Memeluk Setan supaya dia merasa
akrab, lalu berjalan bersebelahan, berpegangan tangan, bagai prajurit
yang saling setia kawan, sebab kita sama-sama berjuang. Mari
bergotong-royong dengan Setan!
Tapi jangan lupa, itu semua hanya taktik
dan strategi, bukan tujuan. Begitu Setan lengah dan mulai percaya sama
kita, pelan-pelan lehernya kita bekuk, lalu masukkan belati ke
tenggorokannya supaya urat nadinya putus. Kita gorok dia supaya tamat
riwayatnya, supaya kita benar-benar bebas dan mereka dalam arti yang
sesmpurna-sempurnanya.
Yak. Sudah waktunya menulis surat kepada Setan. Sekarang. Jangan ditunda lagi.
“Merdeka! Horas! Sahabat sejati, Setan
yang baik hati. Di mana pun kini kau berada, aku menyampaikan salam
hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, bergotong-royong menggarap
kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan.
Selama kita saling dengki dan curiga mencurigai, hasilnya akan kurang
mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini,
kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi
rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu
balasanmu secepatnya, Setan!”
Surat aku masukkan ke pos tanpa
membubuhkan nama atau pun alamat. Tukang pos pasti tahu ke mana harus
dibawa. Siapa yang tidak tahu rumah setan. Kalau toh tukang posnya
bego, setan sendiri pasti akan langsung mengambil surat itu, sebab dia
tahu apa yang harus dia lakukan. Namanya juga setan.
Lalu aku menunggu. Berhari-hari,
berminggu-minggu, setahun, lima tahun, kalau perlu sampai 30 tahun aku
akan tetap setia menanti. Ternyata tidak ada jawaban. Aku panik.
Jangan-jangan setan menolak. Jangan-jangan ia sudah tahu akal bulusku
mau mengguntingnya dalam lipatan. Jangan-jangan ia sudah di”up-grade”,
hingga tidak bisa lagi dikecoh. Setan kan selalu lebih hebat dari
manusia. Kenapa aku jadi lupa?
Rasa takut mulai menusuk. Sukmaku
bergetar, ngeri kalau-kalau setan menyerang karena merasa terhina. Habis
aku sudah memperlakukannya seperti idiot. Sebentar-sebentar kalau ada
mobil berhenti di depan rumah, aku panik, siap kabur. Tapi jebulnya itu
hanya pegawai negeri yang pulang naik angkot sebelum selesai jam
kantornya. Kan Jum’at. Ketakutan makin membengkak aku ngos-ngosan
terhimpit. Akhirnya aku coba mengatasi dengan ekstasi, tapi semakin
diatasi, semakin menjadi-jadi.
Dengan panik aku mengunjungi psikolog.
Tapi alumni mancanegara itu mengulangi lagi nasehat basi, aku harus
berpikir positip. Jangkrik. Aku balik ke rumah dan akhirnya berdoa.
“Tuhan, ini tidak adil, aku kan mahluk
ciptaanMu. Tak mungkin Kau tidak mencintai yang Kau ciptakan sendiri.
Lindungi aku. Jangan biarkan setan menang. Aku bersumpah kalau manusia
yang menang, aku jamin dunia ini akan lebih indah. Orang tidak perlu
mati sebelum masuk surga, sebab dunia bisa kami bikin jadi surga oleh
rasa cinta yang pada dasarnya juga adalah karuniaMu kepada kami juga!”
Doa membawa ketenangan. Akhirnya aku
pasrah. Cemas sudah membuatku berpikir. Dengan berpikir muncul ide-ide
baru. Takut adalah bagian dari karunia untuk membuat peradaban manusia
sempurna. Waktu itu kringgg, kringggg, tukang pos datang. Ada surat
untuk Anda, katanya sambil tersenyum sopan, silakan diterima. Aku
mengurut dada lega, syukurlah, akhirnya tiba. Orang sabar kasihan Tuhan.
Setelah membubuhkan tanda tangan tanda terima, lalu penasaran surat aku
buka:
“Merdeka! Horas! Kawan sejati, Setan
yang baik hati. Di mana pun kini Anda berada, aku menyampaikan salam
hormat dan cinta. Mari akhiri permusuhan, bergotong-royong menggarap
kesempatan demi masa depan mapan anak-cucu kita seratus keturunan.
Selama kita saling dengki dan curiga-mencurigai, hasilnya akan kurang
mamadai. Masa lalu yang tidak produktif harus diakhiri. Mulai detik ini,
kita bahu-membahu, dalam satu barisan yang padu. Semua laba kita bagi
rata. Kalau perlu kau sembilanpuluh persen, aku sisanya. Aku tunggu
balasanmu secepatnya, Setan!”
Ya Tuhan ini kenapa jadi begini, aku
bukan setan, aku bukan setan, aku bukan setannnnnn! Aku bukan
setannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn …….. kata Setan!
Anak
saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi
shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu,
sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk.
"Betul Pak." Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya
dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali
tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap
tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali
tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak
mengetahui permasalahannya.
Kami
bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju.
Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja
pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu,
dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu
terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan
kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang
diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini
tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru
karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru
asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan,
mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru,
mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi
putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa?
Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa?
Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun
tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi
duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja
rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan
dari mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro
sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus
tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya
menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya
rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu
tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja
utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu
bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer,
dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan
tenang dengan otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami
tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang
perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah
yang sudah salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya
diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya,
semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata
begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri,
hancur.
Bukan
hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi
mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan
tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu.
Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai
kejutan.
Taksu
senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami
tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi
jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang
saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang
mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu!
Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian
orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang
mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa.
Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru
itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di
koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
"Negara
sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara
tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak
orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan
orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting
tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu!
Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu,
masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri
berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit,
supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu
tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu
kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa
gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang
konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis.
Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak
punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit.
Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup
perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu
menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
"Lap
top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia
waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu.
Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah
waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu
dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan
sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil!
Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa
nasehat kita!"
Saya
tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan
seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya
yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan
harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari
perasaannya sendiri.
Tiga
bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi
kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua,
orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya,
tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya
datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan
mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah,
tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan
bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan
mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana
Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk
kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil
ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil
sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru,
sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan
kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar,
punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya
kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu
kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi
presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter
setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan
menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran.
Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"
Lalu
saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir.
Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut
kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau
tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar.
Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak.
Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak
itu saya genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik.
Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan
kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan
sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang
kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan
membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang.
Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru
terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa
banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya
kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang
yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang
saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat
pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat
tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci
mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya
tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas
meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi
kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan
pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu?
Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap. Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab
guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap.
Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh,
berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan
datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!"
kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan
semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu
kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau!
Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang
lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang
datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut
dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan
menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel
sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka,
sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada
ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?"
Satu
jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya
tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si
Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa
depan yang gelap.
"Tidak
betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa
gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas
di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi
racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru,
tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi kamu. Buat
apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak
perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan
gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di
dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya
duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat
sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih
beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh
kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah
hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa
kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu
salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang
sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina
kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan
dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat
gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa
menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa
yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi
ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya
ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan
saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo
kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih
anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang!
Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya
masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok.
Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan
cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan
enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi
tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah,
akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat
mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan
panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu
seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah
kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang
tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan
saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu.
Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari
kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya.
Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan.
Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu
bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah
menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang sudah
dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam
kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu
kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi
ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena
merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah
dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk
pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya
menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia
tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas
kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang
saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga
semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya
memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang
mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan
serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia
seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi
bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap
promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah
pergurauan tinggi bergengsi.